PERMASALAHAN TERKAIT BIROKRASI DAN POLITIK DI INDONESIA




A.    Pengertian Birokrasi
Birokrasi dimaksudkan sebagai satu sistem otorita yang ditetapkan secara rasional oleh berbagai peraturan. Birokrasi dimaksudkan untuk mengorganisasi secara teratur, suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh orang banyak. Pandangan pengertian birokrasi dari para ahli adalah sebagai berikut:
  1. Menurut Firtz Morstein Marx, merumuskan birokrasi sebagai tipe organisasi yang dipergunakan pemerintah modern untuk pelaksanaan tugas-tugas yang bersifat spesialisasi, dilaksanakan dalam sistem administrasi dan khususnya oleh aparatur pemerintah.
  2. Menurut Ferrel Heady, organisasi birokratik disusun sebagai satu hirarki otorita yang begitu terperinci, yang mengatasi pembagian kerja dan juga telah amat terperinci.
  3. Menurut Blau dan Page, menunjukan bahwa birokrasi tidak hanya dikenal dalam organisasi pemerintahan saja, tetapi juga pada semua organisasi-organisasi besar, seperti organisasi militer dan organisasi-organisasi niaga.
  4. Menurut Dennis Wrong, birokrasi merupakan organisasi yang dibentuk sepenuhnya untuk mencapai satu tujuan tertentu dari berbagai aneka tujuan; ia diorganisasi secara hirarkis dengan jalinan komando yang tegas dari atas ke bawah; ia menciptakan pembagian pekerjaan yang jelas yang menugasi setiap orang dengan tugas yang spesifikasi; peraturan-peraturan umum dan ketentuan-ketentuan yang menuntut semua sikap dan usaha untuk mencapai tujuan; karyawan dipilih terutama berdasarkan kompetensi dan keterlatihannya; dan kerja dalam birokrasi cenderung merupakan pekerjaan sepanjang hidup.

B.     Sistem Pemerintahan di Indonesia
Saat dideklarasikan pada 17 Agustus 1945, Indonesia menganut sistem parlementer dimana negara ini memiliki seorang presiden sebagai kepala negara dan memiliki seorang perdana menteri untuk menjadi kepala pemerintahannya. Kemudian Indonesia merubah sistem pemerintahannya menjadi presidensial, yaitu negara yang dipimpin oleh seorang presiden yang sekaligus menjadi kepala negara dan kepala pemerintahan bagi negaranya. Sistem ini berjalan hingga ada kesepakatan antara Indonesia dan Belanda pada tahun 1949. Belanda yang masih berniat menguasai Indonesia sebagai negara jajahanya berupaya untuk memecah belah Indonesia dengan mendirikan negara-negara boneka di wilayah Indonesia. Maka Indonesia kembali merubah sistem pemerintahannya seperti pada saat awal kemerdekaan Indonesia yaitu sistem parlementer dan konstitusipun berubah menjadi UUD 1950 serta bentuk negara yang semula negara kesatuan juga berubah menjadi Republik Indonesia Serikat. Namun karena rakyat tidak setuju dan Presiden Soekarno meneruskan perjuangannya kembali maka Indonesia kembali menjadi negara kesatuan namun tetap dengan menggunakan konstitusi UUD 1950. Pada tahun 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang salah satu isinya adalah kembali pada konstitusi yang semula yaitu UUD 1945. Sampai sekarang Indonesia masih menganut sistem pemerintahan presidensial dan konstitusi UUD 1945.
C.     Birokrasi dan Politik di Indonesia
Penyelenggaraan pemerintahan negara yang baik (good governance) menjadi agenda utama di Indonesia dewasa ini. Tuntutan reformasi yang dirumuskan dalam slogan anti korupsi, kolusi dan nepotisme menggambarkan kebobrokan sistem pemerintahan negara yang didominasi oleh pemerintah, dengan aktor-aktor utama tersebut di muka, dan dalam sektor swasta yang seharusnya mandiri dan bebas dari intervensi pemerintah. Maka, reformasi pemerintahan negara (governance reform) yang terfokus pada pihak eksekutif dan administrasi negara merupakan salah satu jalur strategis bagi tercapainya good governance. Untuk itu terdapat berbagai strategi pencapaiannya.
Pertama, usaha telah dijalankan untuk menghasilkan pemerintahan yang demokratik dan legitimate. Perkembangan sistem multi partai menjadi saluran bagi masyarakat untuk mendirikan asosiasi politik dan menjatuhkan pilihannya secara bebas. Penyelenggaraan pemilu oleh lembaga yang independen (KPU) dan pemantauan oleh masyarakat sipil (domestik dan international), telah meningkatkan kredibilitas sistem pembentukan legislatif dan eksekutif.
Kedua, seharusnya diperjelas otoritas pemerintahan baru di hadapan birokrasi lama. Tetapi hal ini belum memungkinkan, baik karena ketidakjelasan pengaturan, tidak adanya dukungan legislatif, maupun resistensi birokrasi lama. Masalah-masalah yang muncul dalam penunjukan pejabat-pejabat politik (political appointess), misalnya, mencerminkan bahwa watak Indonesia sebagai beambtenstaat (negara birokrasi) masih menonjol. Dalam sistem politik yang demokratik dan menghasilkan pemerintahan yang legitimate, seharusnya wajar belaka jika pemerintah berhak menentukan jabatan-jabatan tertentu dalam birokrasi negara. Jika tidak, maka pemerintahan yang demokratik akan dibajak oleh sistem birokrasi lama. Upaya memperjelas masalah ini dapat dimulai dengan menghasilkan perundang-undangan tentang lembaga kepresidenan. Dalam pengaturan itu ditentukan tentang otoritas politik, hak-hak dan kewajibannya, dan akuntabilitas.
Ketiga, reformasi administrasi negara. Seperti diketahui bersama, birokrasi di Indonesia merupakan birokrasi yang menggurita. Mereka bukan hanya berada di lingkaran eksekutif seperti Sekretariat Negara, Departemen, Lembaga Non-departemen, dan BUMN, melainkan juga di lembaga perwakilan rakyat dan peradilan. Upaya awal sudah dilakukan, seperti transfer administrasi peradilan umum dari Departemen Kehakiman ke Mahkamah Agung, atau penentuan anggaran sendiri oleh lembaga perwakilan rakyat. Namun banyak hal masih harus dilakukan dalam reformasi administrasi negara ini. Secara umum reformasi itu mencakup peran atau tugas sistem administrasi negara antara lain guna melayani masyarakat secara aspiratif daripada melayani kepentingan sendiri melalui kolusi dengan dunia usaha dan nepotisme. Peran lain adalah memberi ruang pada masyarakat dan sektor swasta untuk berkembang dari bawah (bottom-up) dan di daerah (decentralization).
Keempat, kultur dan etika birokrasi. Kultur keterbukaan, pelayanan yang cepat, dan etika pejabat harus ditingkatkan. Pelayanan yang lamban sudah menjadi ciri birokrasi kita (perhatikan layanan KTP, pemasangan saluran telepon baru atau air minum). Etika jabatan menyangkut hal-hal seperti larangan perangkapan jabatan, berkolusi, penerimaan uang pelicin dan lain-lain.
Kelima, masalah sumber daya manusia yang memerlukan rekruitmen berdasarkan kualitas dan profesionalisme, peningkatan pelatihan, promosi reguler berdasarkan merit system, dan meningkatnya kesejahteraan (bandingkan antara gaji guru dengan pejabat esselon, juga pegawai negeri sipil-militer dengan pegawai BUMN).
Keenam, pengawasan administrasi negara. Hal ini dapat dilakukan secara preventif maupun represif. Pengawasan preventif melekat pada sistem administrasi negara yang bersangkutan, seperti kejelasan job description, pengawasan oleh atasan, dan secara umum berupa penyelenggaraan pemerintah berdasarkan prinsip-prinsip yang baik, yang harus diikuti atau diwujudkan dalam menghasilkan legislasi. Indonesia belum memiliki ketentuan hukum dalam hal ini. Sedangkan secara represif, pengawasan ini dapat berwatak politis, yaitu melalui DPR dan DPRD, maupun berwatak yudisial melalui peradilan adminastrasi yang terbatas pada keputusan konkret (beschikking).
Memang banyak hal yang harus diperbaiki diantaranya peran legislatif dalam mengutamakan kepentingan publik harus ditingkatkan, bukan sekedar kepentingan partai atau golongan. Pemahaman anggota (yang baru) mengenai administrasi pemerintahan masih harus ditingkatkan pula. Maupun birokrasi, kekuasaan, politik dan bisnis yang mewarnai kultur peradilan selama ini, belum sepenuhnya hilang. Sebaliknya, ketidakpatuhan birokrasi dalam menjalankan putusan hakim juga menuntut pemberdayaan putusan peradilan administrasi.  Tujuannya bukan sekedar melahirkan wacana, konsep-konsep dan program yang reformatif untuk menuju clean and the good governance, melainkan juga untuk mendorong perwujudannya.

D.    Teori dan Konsep yang Relevan Terhadap Permasalahan dalam Sistem Pemerintahan Indonesia
Teori Birokrasi Max Weber
Birokrasi berhubungan dengan organisasi masyarakat yang disusun secara ideal. Birokrasi dicapai melalui formalisasi aturan, struktur, dan proses di dalam organisasi. Para teoritikus klasik seperti Fayol (1949), Taylor (1911), dan Weber (1948), selama bertahun-tahun telah mendukung model birokrasi guna meningkatkan efektivitas administrasi organisasi. Max Weber adalah sosok yang dikenal sebagai bapak birokrasi. Menurut Weber (1948), organisasi birokrasi yang ideal menyertakan delapan karakteristik struktural.
Pertama, aturan-aturan yang disahkan, regulasi, dan prosedur yang distandarkan dan arah tindakan anggota organisasi dalam pencapaian tugas organisasi. Weber menggambarkan pengembangan rangkaian kaidah dan panduan spesifik untuk merencanakan tugas dan aktivitas organisasi.
Kedua, spesialisasi peran anggota organisasi memberikan peluang kepada divisi pekerja untuk menyederhanakan aktivitas pekerja dalam menyelesaikan tugas yang rumit. Dengan memecah tugas-tugas yang rumit ke dalam aktivitas khusus tersebut, maka produktivitas pekerja dapat ditingkatkan.
Ketiga, hirarki otoritas organisasi formal dan legitimasi peran kekuasaan anggota organisasi didasarkan pada keahlian pemegang jabatan secara individu, membantu mengarahkan hubungan intra personal di antara anggota organisasi guna menyelesaikan tugas-tugas organisasi.
Keempat, pekerjaan personil berkualitas didasarkan pada kemampuan tehnik yang mereka miliki dan kemampuan untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepada mereka. Para manajer harus mengevaluasi persyaratan pelamar kerja secara logis, dan individu yang berkualitas dapat diberikan kesempatan untuk melakukan tugasnya demi perusahaan.
Kelima, mampu tukar personil dalam peran organisasi yang bertanggung jawab memungkinkan aktivitas organisasi dapat diselesaikan oleh individu yang berbeda.  Mampu tukar ini menekankan pentingnya tugas organisasi yang relatif untuk dibandingkan dengan anggota organisasi tertentu yang melaksanakan tugasnya-tugasnya.
Keenam, impersonality dan profesionalisme dalam hubungan intra personil di antara anggota organisasi mengarahkan individu ke dalam kinerja tugas organisasi. Menurut prinsipnya, anggota organisasi harus berkonsentrasi pada tujuan organisasi dan mengutamakan tujuan dan kebutuhan sendiri. Sekali lagi, ini menekankan prioritas yang tinggi dari tugas-tugas organisasi di dalam perbandingannya dengan prioritas yang rendah dari anggota organisasi individu.
Ketujuh,uraian tugas yang terperinci harus diberikan kepada semua anggota organisasi sebagai garis besar tugas formal dan tanggung jawab kerjanya. Pekerja harus mempunyai pemahaman yang jelas tentang keinginan perusahaan dari kinerja yang mereka lakukan.
Kedelapan, rasionalitas dan predictability dalam aktivitas organisasi dan pencapaian tujuan organisasi membantu meningkatkan stabilitas perusahaan. Menurut prinsip dasarnya, organisasi harus dijalankan dengan kaidah dan panduan pemangkasan yang logis dan bisa diprediksikan.

Adapun kelebihan dan kekurangan Teori  Birokrasi Weber :
Kelebihan Teori  Birokrasi Weber :
1.      Agar Fokus, Birokrasi harus dicerna sebagai satu fenomena sosiologis. Dan birokrasi sebaiknya dipandang sebagai buah dari proses rasionalisasi.
2.      Konotasi atau anggapan negatif terhadap birokrasi sebenarnya tidak mencerminkan birokrasi dalam sosoknya yang utuh. Birokrasi adalah salah satu bentuk dari organisasi, yang diangkat atas dasar alasan keunggulan teknis, di mana organisasi tersebut memerlukan koordinasi yang ketat, karena melibatkan begitu banyak orang dengan keahlian-keahlian yang sangat bercorak ragam.
3.      Ada tiga kecenderungan dalam merumuskan atau mendefinisikan birokrasi, yakni: pendekatan struktural, pendekatan behavioral (perilaku) dan pendekatan pencapaian tujuan dari Max Weber, yaitu:
a.       Apa yang telah dikerjakan oleh Max Weber adalah melakukan konseptualisasi sejarah dan menyajikan teori-teori umum dalam bidang sosiologi. Di antaranya yang paling menonjol adalah teorinya mengenai birokrasi.
b.      Cacat-cacat yang seringkali diungkapkan sebenarnya lebih tepat dicerna sebagai disfungsi birokrasi. Dan lebih jauh lagi, birokrasi itu sendiri merupakan kebutuhan pokok peradaban modern. Masyarakat modern membutuhkan satu bentuk organisasi birokratik. Pembahasan mengenai birokrasi mempunyai kemiripan dengan apa yang diamati oleh teori organisasi klasik.
c.       Dalam membahas mengenai otorita. Weber mengajukan 3 tipe idealnya yang terdiri dari: otorita tradisional, kharismatik dan legal rasional. Otorita tradisional mendasarkan diri pada pola pengawasan di mana legimitasi diletakkan pada loyalitas bawahan kepada atasan. Sedang otorita kharismatik menunjukkan legimitasi yang didasarkan atas sifat-sifat pribadi yang luar biasa. Adapun otorita legal rasional kepatuhan bawahan di dasarkan atas legalitas formal dan dalam yurisdiksi resmi.
d.      Kelemahan dari teori Weber terletak pada keengganan untuk mengakui adanya konflik di antara otorita yang disusun secara hirarkis dan sulit menghubungkan proses birokratisasi dengan modernisasi yang berlangsung di negara-negara sedang berkembang.

Kelemahan - kelemahan Teori  Birokrasi Weber :
      1.   Penetapan standar efisiensi yang dapat dilaksanakan secara fungsional
      2.   Terlalu menekankan aspek-aspek rasionalitas, impersonalitas dan hirarki
      3.   Kecenderungan birokrat untuk menyelewengkan tujuan-tujuan organisasi
      4.   Berlakunya pita merah dalam kehidupan organisasi

Contoh penerapan teori Max Weber yaitu:
Di Indonesia adanya keadaan birokrasi publik di sektor pemerintahan, pendidikan dan kesehatan dan sebagainya berada dalam suatu kondisi yang dikenal dengan istilah organizational slack yang ditandai dengan menurunnya kualitas pelayanan yang diberikannya.
Masyarakat pengguna pelayanan banyak mengeluhkan akan lambannya penanganan pemerintah atas masalah yang dihadapi dan bahkan mereka telah memberikan semacam public alarm agar pemerintah sebagai instansi yang paling berwenang, responsif terhadap semakin menurunnya kualitas pelayanan kepada masyarakat segera mengambil inisiatif yang cepat dan tepat untuk menanggulanginya. Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan birokrasi publik mengalami organizational slack yaitu antara lain pendekatan atau orientasi pelayanan yang kaku, visi pelayanan yang sempit, penguasaan terhadap administrative engineering yang tidak memadai, dan semakin bertambah gemuknya unit-unit birokrasi publik yang tidak difasilitasi dengan 3P (personalia, peralatan dan penganggaran) yang cukup dan handal (viable bureaucraticinfrastructure). Akibatnya, aparat birokrasi publik di Indonesia menjadi lamban dan sering terjebak ke dalam kegiatan rutin, tidak responsif terhadap aspirasi dan kepentingan publik serta lemah beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi di lingkungannya. Sebagai konsekuensinya, perlu dipertanyakan mengenai posisi aparat pelayanan ketika berhadapan dengan masyarakat atau kliennya.
Birokrasi di Indonesia perlu melakukan beberapa perubahan sikap dan perilakunya antara lain : (a) birokrasi harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada hal pengayoman dan pelayanan masyarakat; dan menghindarkan kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan; (b) birokrasi perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan organisasi modern, ramping, efektif dan efesien yang mampu membedakan antara tugas-tugas yang perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi tugas-tugas yang dapat diserahkan kepada masyarakat); (c) birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan system dan prosedur kerjanya yang lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern yakni : pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap mempertahankan kualitas, efesiensi biaya dan ketepatan waktu; (d) birokrasi harus memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik dari pada sebagai agen pembaharu pembangunan; (e) birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari birokrasi yang kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya lebih desentralistis, inovatif, fleksibel dan responsif.
Dari pandangan ini, dapat disimpulkan bahwa organisasi birokrasi yang mampu memberikan pelayanan publik secara efektif dan efesien kepada masyarakat, salah satunya jika strukturnya lebih terdesentralisasi daripada tersentralisasi.
Pendekatan Weberian dalam penataan kelembagaan yang berlangsung dalam pendayagunaan aparatur negara hingga dewasa ini, secara klasikal menegaskan pentingnya rasionalisasi birokrasi yang menciptakan efisiensi, efektivitas, dan produktivitas melalui pembagian kerja hirarkikal dan horisontal yang seimbang, diukur dengan rasio antara volume atau beban tugas dengan jumlah sumber daya, disertai tata kerja yang formalistik dan pengawasan yang ketat. Dalam pertumbuhannya, birokrasi di Indonesia berkembang secara vertikal linear, dalam arti “arah kebijakan dan perintah dari atas kebawah, dan pertanggungjawaban berjalan dari bawah ke atas”, demikian pula “loyalitasnya”; karenanya koordinasi lintas lembaga yang umumnya dilakukan secara formal sulit dilakukan. Birokrasi di Indonesia juga masih di pengaruhi sikap budaya “feodalistis”, tertutup, sentralistik, serta ditandai pula dengan arogansi kekuasaan, tidak atau kurang senang dengan kritik, sulit dikontrol secara efektif, sehingga merupakan lahan subur bagi tumbuhnya KKN atau pun neo-KKN.
Dalam kondisi seperti itu akan sulit bagi Indonesia untuk menghadirkan clean government dan good governance. Berbagai fenomena di atas mengungkapkan perlunya pelaksanaan reformasi birokrasi secara menyeluruh dan sistimatis sebagai bagian dari pembangunan Sistem  dministrasi Negara Kesatuan, Republik Indonesia (SANKRI). Dalam konteks SANKRI, reformasi birokrasi yang dilakukan harus beranjak pada amanat konstitusi NKRI, memperhatikan tantangan lingkungan stratejik internal dan eksternal yang dihadapi, mencakup keseluruhan unsur sistem administrasi negara dan birokrasi secara tepat, sesuai dengan tantangan lingkungan stratejik (internal dan eksternal) yang dihadapi, dan bertitik berat pada peningkatan “daya guna, hasil guna, bersih, dan bertanggung jawab, serta bebas KKN”, disertai pula upaya-upaya perubahan perilaku secara mantap.
Namun pada sisi yang berseberangan hal tersebut telah sangat menguntungkan pihak-pihak tertentu yang jumlahnya sangat sedikit bila dibandingkan dengan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Sejarah Indonesia Merdeka menunjukan, birokrasi yang tidak netral telah turut membawa Indonesia pada jurang kekacauan politik; dan birokrasi yang tidak netral selalu tumbuh bersama dengan kekuatan dan kepentingan politik atau golongan tertentu, selalu terjebak dalam godaan KKN, dan akhirnya juga membawa negara kita pada kehancuran ekonomi. Hal semacam itu telah terjadi pada setiap “rezim pemerintahan”; dengan akibat dan dampak yang serupa berupa kelemahan bangunan kelembagaan hukum, dan kehancuran kehidupan ekonomi, politik, dan sosial. Reformasi birokrasi yang terjadi di Indonesia pada dasarnya dirancang sebagai birokrasi yang rasional dengan pendekatan struktural-hirarkikal (tradisi weberian).
E. Kesimpulan dan Rekomendasi
·         Kesimpulan
Reformasi birokrasi harus merupakan bagian dari reformasi sistem dan proses, administrasi negara. Dalam konteks SANKRI, reformasi birokrasi di dalamnya pada hakikinya merupakan transformasi berbagai dimensi nilai yang terkandung dalam konstitusi. Dalam hubungan itu, reformasi birokrasi juga merupakan jawaban atas tuntutan akan tegaknya aparatur pemerintahan yang berdaya guna, berhasil guna, bertanggung jawab, bersih dan bebas KKN. Selain itu situasi politik Indonesia, ditunjukkan oleh pengambilan keputusan politik dan mekanisme legislasi hukum yang berjalan secara demokratis dalam Pemilihan Umum yang berjalan sesuai sifat-sifat demokrasi seperti langsung, bebas, jujur, dan adil.
·         Rekomendasi
Untuk dapat meluruskan kembali birokrasi pada posisi dan misi atau perannya yang sebenamya selaku “pelayan publik” (public servant), diperlukan kemampuan dan kemauan kalangan birokrasi untuk melakukan langkah-langkah reformasi birokrasi yang mencakup perubahan perilaku yang mengedepankan “netralitas, professionalitas, demokratis, transparan, dan mandiri”, disertai perbaikan semangat kerja, cara kerja, dan kinerja terutama dalam pengelolaan kebijakan dan pemberian pelayanan publik, serta komitmen dan pemberdayaan akuntabilitas instansi pemerintah. Untuk memperbaiki cara kerja birokrasi diperlukan birokrasi yang berorientasi pada hasil. Selanjutnya, diperlukan sosok pemimpin yang memiliki komitmen dan kompetensi terhadap reformasi Birokrasi negara secara tepat, termasuk dalam penyusunan agenda dan pelaksanaan kebijakan pemerintahan dan pembangunan yang ditujukan pada kepentingan rakyat, peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa. Dalam rangka itu, diperlukan pula reformasi struktural, seperti independensi sistem peradilan dan sistem keuangan negara, disertai upaya peningkatan transparansi dan akuntabilitasnya kepada publik.


DAFTAR PUSTAKA
-       Ali Mufiz. Pengantar Ilmu Administrasi Negara. Edisi 2. Jakarta: Universitas Terbuka, 2016.
-       Albrow, Martin, 1996, Birokrasi,Yogyakarta, Tiara Wacana.
-       Blau, Peter.M dan Meyer, Marshall.W, 2000, Birokrasi Dalam Masyarakat Modern, Jakarta, Prestasi Pustakaraya.

No comments:

Post a Comment

Kaitan Kaidah dengan Kaidah-Kaidah Sosial Lainnya

Pengertian Kaidah merupakan patokan atau ukuran sebagai pedoman bagi manusia dalam bertindak. Kaidah juga dapat dikatakan sebagai aturan ...